Senin, 12 Desember 2011

Good Luck, My Way

Pertemuan dengan teman dan sahabat semasa SD pasti tidak akan sama dengan masa SMP, SMA, S1, Apoteker, S2 bahkan orang-orang baru yang kenal setelah berumah tangga. Mereka memiliki point of view yang saling berbeda, tiap orang berbeda, biasanya tergantung dari memory terakhir mereka tentang seseorang. Semakin mereka update tentang perubahan seseorang, point of view mereka pun ikut berubah. Kecuali, orang yang tetep keukeuh memandang kita seperti dulu.. hey... everybody is changing, dude!!


Biasanya, kita akan merasa terkaget-kaget dengan penilaian mereka tentang kita. Dalam kasus ini, saya sudah beberapa kali bertemu dengan teman sekaligus sahabat saya semasa saya masih SD, SMP, SMA, S1, dan S2. Berdasarkan hal itulah, saya mengamati dan menyimpulkan kalau ternyata mereka punya penilaian sesuai memory mereka tentang kita. Awalnya, sangat shocking me!!! hahaha... lama-lama jadi terbiasa. Bisa dibilang, saya adalah orang yang cepat berubah. Apalagi, kondisi dan pengalaman menuntut saya untuk selalu beradaptasi dengan cepat. 


Siapapun akan merasakan hal ini. Padahal tanpa disadari, kalau setiap orang pasti akan berubah. Saya selalu berusaha semaksimal mungkin supaya tidak terkotakkan dengan penilaian saya terhadap seseorang yang saya kenal dimasa lalu. Lawong, saya saja banyak berubah, apalagi orang lain. Mungkin saja terasa lucu, mengingat-ingat dan hidup dimasa lalu....


Saat saya memutuskan untuk memilih jalur hidup seperti ini (quadran kanan.red), saya sadar banyak pihak yang kecewa. Mungkin mereka memiliki frame dan pandangan "yang terbaik" versi mereka untuk saya. Saya sadar kalau sebenarnya orang-orang tersebut sayang dan peduli dengan saya. Diawalnya, saya sangat sedih dan down kalau ada sahabat atau keluarga yang intervir hidup saya. Lama-lama saya punya formulannya, sehingga sekarang jadi lebih cepat bangkit dari perasaan negatif akibat persepsi orang lain terhadap saya. 


Bayangkan, kalau ada orang yang berkata kepada Anda:


"lulusan S2 ko cuma jadi ibu rumah tangga ngurus anak dan suami"


atau

"Aku kecewa sama kamu,.. Aku saja yang bodoh bisa dapat kerja, jabatan dan penghasilan... Aku yakin kalau kamu kerja, pasti jauh jauh jauuuuh lebih baik daripada Aku. Kamu adalah idolaku, seharusnya kamu bisa kerja di perusahaan multinasional."


dan lain sebagainya...


Orang memang macam-macam, dan tidak pernah bisa bersyukur dan puas dengan kondisi yang dimiliki. Mau bukti?


coba ingat, semasa kita sekolah/kuliah.. saat kita selalu sibuk dengan rutinitas pelajaran, kita mengeluh dan berharap ingin libur. Tapi setelah diberikan waktu libur selama seminggu, kita juga mengeluh bosan dan kangen teman-teman, ingin segera cepat- cepat bersekolah/kuliah.


atau


Orang yang belum menikah, berdoa dan berharap ingin menikah. Berangan-angan dan berkhayal tentang bagaimana kehidupan setelah menikah. Padahal kehidupannya sekarang begitu bebas dan tidak terikat siapapun. Tanggung jawabnya hanya sekedar kepada diri sendiri, orangtua dan Tuhannya. Begitu inginnya, menikah sampai tidak bahagia menjadi diri sendiri. Tapi, ketika sudah menikah dan menjalani kehidupan pernikahan. Kebebasannya terenggut. Hidupnya terkunci hanya untuk keluarga, pasangan dan anak. Pikirannya hanya terfokus didunia kecilnya. Sampai merasakan kebosanan akut dan selalu ingin lari dari rutinitas. Setiap hari, mengeluh bosan dan capek dengan dunia kecilnya. 


atau


Seorang ibu/bapak yang bekerja dengan tingkat kesibukan luar biasa, merasa sedih karena tidak bisa memiliki waktu yang lebih untuk keluarganya. Orang ini sangat ingin lepas dari rutinitas pekerjaan yang membelitnya, yang membuatnya tidak berkutik dan terikat dengan waktu. Orang ini begitu ingin sampai berdoa supaya dia bisa memiliki banyak waktu dengan keluarganya, melihat perkembangan anak dan sebagainya. Tapi, setelah dia keluar dari pekerjaan yang menyita waktunya, dan impiannya tercapai untuk lebih mengabdi kepada keluarganya dan memiliki banyak waktu untuk memperhatikan perkembangan anaknya. Orang ini lalu mengeluh kalau bosan, tidak ada kerjaan lain, tidak punya penghasilan dan sebagainya. 


Hidup ini adalah pilihan. Saat ini, saya memilih untuk lebih terfokus dengan mendampingi suami dan menyaksikan perkembangan anak. Saya menikmatinya. Tak apa saya tak berpenghasilan atau tidak sesibuk teman-teman seprofesi saya. Teman, keluarga dan orang-orang sok tau yang baru mengenalku, ada yang mencibir, merasa kecewa, atau sok-sok-an berkomentar tentang hidup saya. Well,, itulah yang menjadi alasan saya tidak suka intervensi dan intensitas dalam pertemanan. Saya punya banyak teman yang sayang kepada saya, tapi saya selalu menjaga intensitas dan berusaha tidak saling intervir kehidupan masing-masing. Tetapi, saling menghormati dan menghargai.


Saya rasa, setiap orang pasti tidak suka diikutcampuri, diintervir, dan didikte untuk segala masalahnya, akhirnya, saya pun belajar kalau jika saya merasa hidup orang lain tidak pas dengan persepsi saya atau frame saya, daripada saya mendikte, mencibir atau memaksa orang lain untuk melakukan saran-saran terbaik saya untuknya, saya lebih memilih untuk mendoakan orang tersebut.


Siapapun, sudah memilih jalannya masing-masing. Sudah dipikirkan resiko dan konsekwensinya. Orang lain hanya bisa menghormati dan mendoakan yang terbaik untuk hidupnya. Jangan banyak tanya, "kenapa?", atau mendebat apapun... karena itu tidak akan merubah apapun, malah akan membuat kesal dan merasa tidak dihargai. Ini tentang belajar bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Menikmatinya. Menghargainya. Menghormatinya. 


Seperti kata Om Mario Teguh, dalam status nya:


Orang Muda harus jatuh cinta, sejatuh-jatuh-nya. Patah hati sepatah-patahnya. Tertawa, marah, sedih, rajin dan malas semalas-malasnya (saya suka bagian malasnya, hehehe..). Tetapi, engkau harus segera bangkit, mendewasa, berdiri gagah, dengan bekas-bekas luka yang indah di wajah dan dadamu, dan dengan anggun dan berwibawa katakan,..


"Dengan kewenanangan yang diberikan Tuhan kepadaku, dengarlah ini... AKULAH PENENTU KEBESARAN HIDUPKU SENDIRI."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar